Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum
Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik
perdata maupun pidana, berbasis pada hukum
Eropa kontinental, khususnya
dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah
jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian
besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at
Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan.
Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum
Adat yang diserap dalam
perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan
setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan
sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan
ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat
yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan
Kedudukan
Hukum Adat dalam Perpektif UUD 1945
Konstitusi kita sebelum amandemen
tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah
hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya
rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum
adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini
mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan
hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal
33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas
kekeluargaan.
Pada tataran praktis bersumberkan
pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang disebut Hak Menguasai Negara
(HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara tradisional
diakui dalam hukum adat.
Ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan
UUD 1945, yaitu persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup
juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua
adalah negara hendak mewujudkan keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan
keadilan hukum. karena azas-azas fungsi sosial manusia dan hak milik dalam
mewujudkan hal itu menjadi penting dan disesusaikan dengan tuntutan dan
perkembangan masyarakat, dengan tetap bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran
ketiga adalah : negara mewujudukan kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan
dan permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fondamental dan
penting, adanya persatuan perasaan antara rakyat dan pemimpinnya, artinya
pemimpin harus senantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan hukum, perasaaan
politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan kepentingan
umum melalui pengambilan kebijakan publik. Dalam hubungan itu maka ini mutlak
diperlukan karakter manusia pemimpin publik yang memiliki watak berani,
bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan
berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan
harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu
segala hal dan arah negara hanya semata-mata sebagai sarana membawa manusia dan
masyarakatnya sebagai fungsinya harus senantiasa dengan visi dan niat
memperoleh ridho Tuhan yang maha Esa.
Namun
setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan : Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
Dalam memberikan tafsiran terhadap
ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie menyatakan perlu diperhatikan bahwa
pengakuan ini diberikan oleh Negara :
1). Kepada
eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang
dimilikinya;
2).
Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat. Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan
tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu;
3).
Masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);
4).
Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula;
5).
Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran
kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan
bangsa. Misalnya tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi
dipertahankan tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban
hanya karena alasan sentimentil;
6).
Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai
suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ashiddiqie,
2003 : 32-33)
Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945
tersebut maka:
1.
Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak
tradisionalnya ;
2.
Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;
3.
Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
4.
Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5.
Diatur dalam undang-undang
Dengan demikian konsitusi ini,
memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:
1.
Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan
masyarakat;
2.
Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik
Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang;
Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945
menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Antara
Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya mengandung
perbedaan dimana Pasal 18 B ayat (2) termasuk dalam Bab VI tentang Pemerintahan
Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Lebih
jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan penghormatan terhadap identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional (indigeneous people). Dikuatkan
dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 6
ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi :
(1) Dalam rangka
penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum
dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah.
(2) Identitas
budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi,
selaras dengan perkembangan zaman.
Sebagaimana Penjelasan UU No. 39
Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa hak adat yang
secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat
hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan
penegakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat bersangkutan dengan memperhatikan
hukum dan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya penjelasan Pasal 6 ayat (2)
menyatakan dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia, identitas budaya nasional
masyarakat hukum adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat
hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak
bertentangan dengan asas-asas Negara Hukum yang berintikan keadilan dan
kesejahteraan masyarakat. Dalam ketentuan tersebut, bahwa hak adat termasuk hak
atas tanah adat dalam artian harus dihormati dan dilindungi sesuai dengan
perkembangan zaman, dan ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak
adat yang secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat.
Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan
Perundang-undangan sesuai dengan UU
No. 10 Tahun 2004, maka tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai
berikut :
1.
Undang-undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang/ Perpu
3.
Peraturan Pemerintah;
4.
Peraturan Presiden
5.
Peraturan Daerah;
Hal ini tidak memberikan tempat
secara formil hukum adat sebagai sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum
adat dalam wujud sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam
perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.
Dalam kesimpulan seminar Hukum Adat
dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun 1975 telah dijelaskan
secara rinci dimana sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional
di Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan mengenai pengertian hukum adat,
kedudukan dan peran hukum adat dalam sistem hukum nasional, kedudukan hukum
adat dalam perundang-undangan, hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai
pengajaran dan penelitian hukum adat di Indonesia. Hasil seminar diatas
diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan hukum adat selanjutnya
mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat
penting dan mempunyai peranan baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia,
dalam perundang-undangan, maupun dalam putusan hakim
Kelembagaan
Adat Di Kabupaten Gumas dalam kaitan dengan fungsi Pemerintahan
Peraturan Daerah Kabupaten Gunung
Mas Nomor 33 Tahun 2011 Tentang Kelembagaan Adat
Dayak Di Kabupaten Gunung Mas pada Pasal 7 dan Pasal 8 mengatur
mengenai Kedudukan, Tugas Dan Fungsi Damang Kepala Adat
Pasal
7
(1) Damang Kepala Adat
berkedudukan di ibu kota kecamatan sebagai mitra Camat dan mitra Dewan Adat
Dayak kecamatan, bertugas dalam bidang pelestarian,
(2) pengembangan dan
pemberdayaan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan berfungsi sebagai penegak
hukum adat Dayak dalam wilayah Kedamangan bersangkutan.
(3) Untuk kelancaran
pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, Damang kepala Adat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dibantu oleh Kerapatan Mantir Perdamaian Adat atau Let
Adat tingkat kecamatan dan tingkat desa/kelurahan.
(4) Kerapatan Mantir
Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan atau sebagai peradilan adat
tingkat terakhir.
(5) Kerapatan Mantir
Perdamaian Adat tingkat kecamatan ditetapkan dan dikukuhkan oleh Dewan Adat
Dayak kabupaten, sedangkan Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat
desa/kelurahan ditetapkan dan dikukuhkan oleh Dewan Adat Dayak kecamatan.
(6) Untuk mendukung
kelancaran dan ketertiban administrasi, Damang Kepala Adat dibantu oleh seorang
sekretaris.
Pasal
8
Damang Kepala Adat bertugas :
a.
menegakkan hukum adat dan menjaga wibawa lembaga adat Kedamangan ;
b.
membantu kelancaran pelaksanaan eksekusi dalam perkara perdata yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, apabila diminta oleh pejabat yang berwenang;
c.
menyelesaikan perselisihan dan atau pelanggaran adat, dimungkinkan juga
masalah-masalah yang termasuk dalam perkara pidana, baik dalam pemeriksaan
pertama maupun dalam sidang penyelesaian terakhir sebagaimana lazimnya menurut
adat yang berlaku ;
d.
berusaha untuk menyelesaikan dengan cara damai jika terdapat perselisihan
intern suku dan antara satu suku dengan suku lain yang berada di wilayahnya ;
e.
memberikan pertimbangan baik diminta maupun tidak diminta kepada pemerintah
daerah tentang masalah yang berhubungan dengan tugasnya ;
f.
memelihara, mengembangkan dan menggali kesenian dan kebudayaan asli daerah
serta memelihara benda-benda dan tempat-tempat bersejarah warisan nenek moyang
;
g.
membantu pemerintah daerah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan
pembangunan di segala bidang, terutama bidang adat istiadat,
kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat;
h.
mengukuhkan secara adat apabila diminta oleh masyarakat adat setempat para
pejabat publik dan pejabat lainnya yang telah dilantik sebagai penghormatan
adat;
i.
dapat memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang
menyangkut adanya persengketaan atau perkara perdata adat jika diminta oleh
pihak yang berkepentingan;
j.
menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat Dayak, dalam
rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya
dan kebudayaan Dayak pada khususnya ;
Hukum
Adat sebagai pelestarian nilai-nilai adat istiadat.
Kesimpukan-kesimpulan seminar Hukum
Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun 1975 di atas telah
dijelaskan secara rinci dimanakah sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata
hukum nasional di Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan mengenai
pengertian hukum adat, kedudukan dan peran hukum adat dalam sistem hukum
nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan, hukum adat dalam putusan
hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian hukum adat di Indonesia. Hasil
seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan hukum adat
selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di
Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan baik dalam sistem hukum nasional
di Indonesia, dalam perundang-undangan, maupun dalam putusan hakim.
Dalam berbagai rumusan peraturan
Orde Baru kita dapat membaca bahwa negara sangat besar kekuasaannya, pandangan
seperti mlsalnya ketentuan UUPA:
hak atas tanah berdasarkan hukum
adat diakui, sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan pembangunan.
Disini kita melihat kekuasaan yang mutlak dart
negara, karena berdasarkan
interpretasinya hak ulayat yang telah lama dimiliki oleh
masyarakat adat, dapat
dihapuskannya.
Hukum adat adalah aturan tidak
tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat suatu daerah dan akan tetap hidup
selama masyarakatnya masih memenuhi hukum adat yang telah diwariskan kepada
mereka dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh karena itu, keberadaan hukum
adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak dapat dipungkiri walaupun
hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang
tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat
Hukum
Adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati
nurani warga masyarakat yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai
dengan adat-istiadatnya dan pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional. Era sekarang memang dapat disebut sebagai era kebangkitan masyarakat adat yang ditandai dengan lahirnya berbagai kebijaksanaan maupun keputusan
Pengadilan. Namun yang tak kalah penting adalah perlu pengkajian dan
pengembangan lebih jauh dengan implikasinya dalam penyusunan hukum nasional
dan upaya penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.
nurani warga masyarakat yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai
dengan adat-istiadatnya dan pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional. Era sekarang memang dapat disebut sebagai era kebangkitan masyarakat adat yang ditandai dengan lahirnya berbagai kebijaksanaan maupun keputusan
Pengadilan. Namun yang tak kalah penting adalah perlu pengkajian dan
pengembangan lebih jauh dengan implikasinya dalam penyusunan hukum nasional
dan upaya penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.
Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai
persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat
merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa,
dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adatsuku Nuaulu yang
terletak di daerah Maluku Tengah,
ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah
pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia
sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam
penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim padaPerngadilan Negeri Masohi
di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim
harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan
putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam
kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat
adat maka pada tanggal24 Juni 1999, telah diterbitkan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat.
Peraturan
ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan
kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian
masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan
yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa
itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA.
Kebijaksanaan tersebut meliputi :
1. Penyamaan persepsi mengenai “hak
ulayat” (Pasal 1)
2. Kriteria dan penentuan masih adanya
hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3. Kewenangan masyarakat hukum adat
terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang
menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat,
hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat
masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana
hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan
perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya.
Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui
keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah